Kamis, 29 November 2012

aliran murji'ah



A.    PENDAHULUAN
Kehidupan memang tidak luput dari setiap permasalahan. Dalam Islam sendiri mulai sejak dahulu di zaman Rasulullah sampai sekarang memiliki permasalahan. Setelah wafatnya Rasulullah mulai timbul banyaknya pergejolakan yang timbul dalam kalangan umat. Setiap Pemerintah atau Khalifah yang berkuasa berusaha untuk meminimalisir dari pemberontakan tersebut.
Dari gejolak yang timbul dari umat menimbulkan berbagai firqoh (kaum) dalam kalangan umat Islam sendiri. Seperti kaum Syiah, kaum Khawarij, kaum Mu’tazilah, kaum Qadariyah, kaum Jabariyah, dan kaum Murji’ah. Dari hal ini membuat umat sendiri menjadi terpecah belah dalam pemikiran tentang Islam. Sehaingga hal inilah yang memicu timbulnya dari “Teologi Islam”.
Dalam konteks historis lahirnya Murjiah pada akhir abad pertama Hijrah pada saat Ibukota kerajaan Islam dari Madinah pindah ke Kuffah kemudian pindah lagi ke Damaskus. Ini dipicunya adanya pergejolakan yang timbul dalam politik imamah atau khilafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan yang kemudian berkelanjutan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Sehingga pada tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan yang dilakukan oleh Abdullah bin Salam menjadi pembuka yang dinyatakan kaum Muslimin membuka bencana baginya yang tidak akan tetutup sampai hari Kiamat.[1]
Setiap Aliran yang lahir memiliki pemikiran tersendiri dalam berperndapat yang mana menjadi pegangan tersendiri dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan, baik itu dari kaum Syiah sampai kepada kaum Murji’ah. Dalam kesempatan ini kami mencoba menjabarkan tentang Aliran dari Murji’ah yang merupakan aliran yang ada dalam salah satu aliran dari aliran-aliran yang lahir sejak masa para sahabat Rasulullah.

B.     PEMBAHASAN
1.                  Yang dimaksud Kaum Murji’ah
KataMurji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai beberap pengertian diantaranya:
Ø    “Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat dosa besar sehinggga matinya belum bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah kelak.
Ø    “Memberi pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukum kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
Ø    “Menyerahkan”maksudnya menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah hanya kepada keputusan Allah kelak.
Dari beberapa pengertian diatas bisa kita menyimpulkan tentang pengertian dari Murji’ah. Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[2]
2.                  Latar belakang Sejarah berdirinya Kaum Murji’ah.
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijrah. Dinamakan “Murji’ah” karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang mukmin yang berdosa besar dan belum bertobat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukumi sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan terserah kepada Allah di hari akhir nanti.
Lahirnya aliran Murji’ah disebabkan oleh kemelut politik setelah meninggalnya Khalifah Utsman bin Affan, yang di ikuti oleh kerusuhan dan pertumpahan darah. Kemelut polotik itu berlanjut dengan terbunuhnya Khalifah Ali yang diikuti pula kerusuhan dan pertumpahan darah. Di saat-saat demikian, lahirlah aliran Syi’ah dan aliran Khawarij. Syi’ah menentang Bani Umayah karena membela Ali dan Bani Umayyah dianggap sebagai penghianat, mengambil alih kekuasaan dengan cara penipuan.[3]
Di antara Syi’ah dan Khawarij di satu pihak dan Bani Umayyah di pihak lain yang saling bermusuhan dan menumpahkan darah itu, tampillah segolongan yang di sebut Murji’ah.
Seperti halnya lahirnya aliran Khawarij, demikian juga halnya munculnya aliran Murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah ke Damaskus. Maka mulai kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umauyyah, berbeda dengan Khulafur-Rasyidin. Tingkah laku pengusa tampak semakin kejam. Sementara ummat Islam bersikap diam saja.  Timbul persoalan: “Bolehkah ummat Islam berdiam saja dan wajibkah kepada khalifah yang dianggapnyazalim?”.
Orang-orang murjiah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang yang sholeh ataupun di belakang orang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan Murji’ah yang yang berarti melambatkan atau menagguhkan tentang balasan Allah sampai nanti.
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan Murji’ah memang menguntungkan penguasa Bani Umayyah. Sebab dengan demikian berarti membendung kemungkinan terjadinya pemberontakan terhadap  Bani Umayyah sekalipun khalifah dan pembantu-pembantunya itu kejam, toh mereka itu muslim juga. Pendapat ini berbeda dengan pendirian golongan khawarij yang mengatakan bahwa berbuat zalim, berdosa besar itu adalah kafir.
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab beberapa daerah takluk ke dalam kekuasaannya. Syria jatuh pada tahun 638 M, disusul Mesir pada 641M, lalu Persia 642 M jatuh ketangan ummat Islam. Berarti ada tiga kerajaan besar dengan kekayaan yang cukup dan tinggi peradabanya, masuk kedalam kekuasaan Islam. Masing-masing daerah ini menjadi wilayah gubernur dengan pusat pemerintahan tetap di Madinah. Masing-masing daerah diperintah seorang gubernur.
Ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Bahwa meluasnya wilayah Islam ke tiga daerah tersebut:
ü    Pertama, penduduk dari wilayah Persia, Syria dan Mesir itu masing-masing telah mengenal peradaban dan agama-agama lama seperti peradaban agama-agama Mesir, Babilon, Persia, Yahudi dan Nasrani juga peradaban keagamaan dan filsafat Yunani (Hellenisme dan Platonisme). Pengaruh Yunani terutama menjadi makin tampak disebabkan imperium Romawi Timur telah berabad-abad memerintah Syria dan Mesir, takala Khalifah Umar membebaskanya.
ü    Kedua, setelah daerah-daerah ini masuk imperium Islam banyaklah penduduk-penduduk daerah itu yang menukar agamanya kepada Islam baik dengan jalan perkawinan ataupun dengan jalan pelajaran semata-mata. Hal ini terjadi dengan pesatnya terutama disebabkan pada zaman itu rakyat umum telah biasa untuk menuruti sikap pemimpin-pemimpinnya. Apalagi raja-rajanya, panglima-panglimanya atau pendeta dan orang-orang kayanya masuk Islam, maka mereka pun  masuk Islamlah pula.
Ke dua hal di atas tentu saja terpengaruh pada jalan pikiran umat Islam umumnya, sebab umat islam yang baru ini (rakyat-rakyat Persia, Mesir dan Syria) telah membaea  pula peradabannya dan cara-cara pemikiranya ke dalam tubuh masyarakat Islam sendiri.
Dan ini menjadi persoalanya baru pula di kalangan umat Islam. Harus diperiksa (diseleksi) manakala dari peradaban dan pemikiran itu sesuai dan dapat diterima Islam, dan mana pula yang bebeda, bertentangan dan di tolak oleh agama Islam.
Untuk itu terjadilah pertukaran pikiran di antara mereka. Dan dari sini timbullah perselisihan-perselisihan pendapat. Kalau dalam tubuh umat Islam Arab sendiri telah timbul benih-benih pembahasan dan perselisihan pendapat tentang soal-soal pemikiran (filsafat) keagamaan (soal qaddar Tuhan) maka dengan pembahasan-pembahasan baru ini menjadilah dunia pembahasan itu bertambah besar dan meluas. Melihat baik dilihat pada lingkungannya ataupun dilihat pada unsur-unsur yang terdapat di dalamnya.
Pembahasan itu makin menjadai-jadi dan telah berupa suatu pembicaraan soal ketuhanan yang khusus bersifat ilmu pengetahuan.Lalu timbullah istilah ilmu kalam yang berarti ilmu yang berbicara (berdebat) sebagai nama baru bagi Ilmu Tauhid atau Ilmu Ushuluddin yang telah ada.
3.                  Aliran dalam Kaum Murji’ah dan tokoh-tokohnya
Al Bagdhadi membagi aliran Murjiah kepada tiga golongan besar, yaitu:
Ø    Murjiah dalam pengaruh faham Qadariah dengan pendukung-pendukungnya:
©             Ghailan
©             Abi Syamar
©             Muhammad bin Syahib al Basri
Mereka ini menganut paham kehendak bebas yang dikaitkan ketentuan-ketentuan efektif Tuhan terhadap setiap kejadian.
Ø    Murjiah dalam pengaruh faham Jabariah dengan pendukung-pendukungnya:
©                   Jaham bin Safwan
Yaitu yang menganut paham bahwa iman dan kufur adalah terletak di hati dan bukan terletak pada perbuatan manusia. Oleh karena itu, orang yang menyembah berhala dan matahari dianggap tetap beriman.[4]
Ø    Murji’ah yang tidak dalam pengaruh faham Jabariah atau Qadariah dan mereka ini terbagi dalam lima golongan:
©                   Yunusiah
©                   Ghassaniah
©                   Tsaubaniah
©                   Thumaniah
©                   Marisiah
            Tokoh-tokoh Murji’ah, di samping yang telah di sebutkan dalam pimpinan golongan-golongan di atas, dikenal pula:
©                    Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
©                    Sa’id bin Zubair (seorang wara’ dan zuhud termasuk tabi’in)
©                    Abu Hanifah (Imam Mazhab)
©                    Abu Yusuf
©                    Muhammad bin Hasan
©                    Dan lain-lain dari ahli Hadis.[5]
4.                  Pemikiran Teologi Kaum Murji’ah
Kaum Murji’ah dilihat dari sisi pemikiran teologi mereka dapat di beradakan dalam dua golongan[6], yang mana dua golongan ini sangat jauh berbeda dari satu dengan yang lainya, yaitu:
©                  Golongan Moderat
Ialah golongan yang berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak Kafir dan ia tidak akan kekal di dalam neraka, akan tetapi di sikasa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang pernah ia lakukan, dan kemudian setelah menjalani siksaan ia akan keluar dari neraka. Dan bisa saja jika dosanya di ampuni Tuhan, maka ia sama sekali tidak masuk neraka.
©                  Golongan Ekstrim.
Ialah golongan yang berpendapat iman ialah keyakinan di dalam Hati. Apabila seseorang di hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul Allah, meskipun ia meyatakan kekafiran dengan lidah, menyembah berhala, mengikuti agama Yahudi, dan Nasrani, memuja salib, mengakui trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap mukmin yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia termasuk golongan Ahli Surga.
Selanjutnya golongan Murji’ah Ekstrim terpecah kepada beberapa golongan, antara lain:
a)                  Al Jahmiyah
Adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Dan golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya di dalam hati, bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang seperti ini juga tidak menjadi kafir, walaupun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.[7]
b)                 Al Shalihiyah
Adalah para pengikut Abu al Hasan Shalih Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Tuhan dan kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini, sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini berpendapat bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah hanyalah iman. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
c)                  Al Yunusiyah
Adalah pengikut Yunus Ibnu ‘Aun Al Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal Allah, hati tunduk pada-Nya, meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalm hati. Apalagi yang tersebut ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang mukmin. Sedangkan yang sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di dalam pandangan kaum Murji’ah, yang di sebut Iman  itu hanyalah mengenal Tuhan, golongan Al Yunusiyah berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang.
d)                 Al Ubaidiyah
Golongan ini adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan golongan ini ,mereka berpandapat jika seseorang mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa dsan perbutan jahat yang di kerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang musrik atau orang yang kafir.
e)                  Al Ghassaniyah
Adalah pengikut Ghassan Al Kufi. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak secara rinci. Iman itu bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain itu golonagn ini juga berpendapat, jiak seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa Tuhan Mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah itu adalah kambing ini atau yang selainya”, maka orang tersebut tetap mukmin. Dan jika seseorang mengatakan: “ Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan haji ke Ka’anh, tetapi saya tidak tahudimana letaknya ka’bah itu, apakah di India atau di tempat lain”,  orang demikina juga tetap mukmin.
5.                  Alam Pemikiran Kaum Murji’ah
Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan Bin Bilal Al Muzni, Abu Salat As Samman, Tsauban Dlirir Bin Umar. Penyair yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayyah ialah Tsabit Bin Quthanah, mengarang syair iktikad kaum Murji’ah.
Apabila yang menjadi asas golongan Mu’tazilah ialah “Usulu I-Khomsah”, dan golongan Syi’ah dengan berasas tentang “Imamah”, maka asas golongan Murji’ah tentang batasan pengertian “Iman”.
Menurut Ahli Sunnah bahwa iman itu sendiri terdiri dari tiga unsur, yaitu: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertai dengan amal perbuatan seperti shalat, puasa, zakat, haji. Masing-masing adalah termasuk bagian Iman.
Ahmad Amin menerangkan:“Kebanyakan golongan Murjiah berpendapat bahwa Iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Atau dengan kata lain Iman ialah makrifat kepada Allah dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriamn dengan hatinya, maka dia adalah mukmin dan muslim, sekalipun lahirnya dia Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisanya tidak mengucapkan syahadat dua. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan bagian daripada iman.”
Alasan merekan bahwa Al Quran itu diturunkan dalam bahasa Arab. Iman menurut bahasa ialah membenarkan dengan hati saja. Sedangkan amal perbuatan dengan anggota badan menurut bahasa bukan termasuk membenarkan dengan hati – tashdiq – tidak termasuk bagian dari iman. Dalam Al Quran diterangkan tentang kisah saudara-saudara Nabi Yunus a.s.
وَمَا اَنْتَ بِمُؤمِنٍ لَنَا اَى بِمُصَدِّقٍ مَاحَدَّثْنَاكَ بِهِ
Artinya: “Tidaklah kamu itu orang yang beriman kepadaku. Artinya mempercayai apa yang kami katakan kepadamu tentangnya.”
Menurut hadits, iman ialah :
أَلإِيْمَانُ اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ اَى تُصَدِّقُ
Artinya: “Iman ialah percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya.” artinya: membenarkan.
Selanjutnya diterangkan:“Sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsur , yaitu membenarkan dengan hati, dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidak cukup, dan mengiikrarkan dengan lisan sajapun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya. Supaya seseorang menjadi mukmin. Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan, tidak dinamakan mukmin.”
Golongan-golongan lain berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan. Sekalipun iman menurut bahasa itu berarti membenarkan dengan hati, tetapi dalam syara’ itu ada hal-hal yang berubah dari arti menurut bahasa. Yang mempunyai pengertian tersendiri dalam istilah. Seperti shalat menurut bahasa ialah doa. Tetapi dalam syara’ diartiakn sebagai berikut:

اَلصَّلاَةُ هِىَ اَقْوَالٌ وَاَحْوَالٌ وَاَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتَحَةٌ بِالتّكْبِيْرِ وَمُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ
Artinya: “Shalat ialah bacaan, tingkah laku dan perbuatan tertentu yang dimulai takbir dan diakhiri dengan salam.”
Firman Allah:
Artinya:“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[8] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al Baqarah: 143)
Lafaz “iman” dalam ayat tersebut, yang dimaksud ialah “shalat”nya kaum muslimin menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum perintah menghadap ke arah Masjidil Haram, seperti diterangkan dalam ayat:
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[9], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.(Al-Baqarah : 144)
Seandainya “iman itu cukup hanya denagn hati, maka banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani tergolong Mukmin. Sebab mereka mengetahui Nabi Muhammad SAW, sebagaiman pula nenek moyang mereka juga mengetahuinya, diperoleh keterangan dari kitab-kitab Taurat dan Injil.
Golongan Murji’ah bertentangan dengan golongan Mu’tazilah dan Khawarij. Diterangkan “Golongan-golongan Mu’tazilah dan Khawariz sangat menentang golongan Murji’ah tentang pengertian iman. Karena kedua golongan tersebut mensyaratkan iman dengan melaksanakan taat kepada Allah, menjahui hal-hal yang maksiat, dan mereka menjadikan amal perbuatan sebagoan daripada iman. Golongan Khawarij menganggap Mu’tazilah menganggapnya berada dalam suatu posisi di antara dua posisi, tidak mukmin dan tidak juga kafir, sedangkan golongan Murji’ah berpendapat: bahwa orang yang berdosa besar itu mukmin. Sebab dia membenarkan dengan hatinya, dikatakan fasiq karena melakukan dosa besar. Bahkan di antara mereka sendiri adanya yang mengatakan bahwa tidak betul menamakan orang yang berdosa besar itu fasiq secara mutlaq, tetapi dikatakan fasiq dalam hal demikian.”
Masalah iman ini menimbulkan beberapa masalah. Seperti apakah iman itu dapat bertambah atau tidak. Karena golongan Murji’ah berpendirian bahwa iman itu mrmbenarkan dalam hati saja atau membenarakan dengan hati fan mengikrarkan dengan lisan itu adakalanya benar dan tidak. Maka iman itu tidak bisan bertambah atau berkurang.
Adapun pihak-pihak yang berpendirian bahwa amal perbuatan itu termasuk ke dalam pengertian iman, sedangkan amal perbuatan itu bisa banyak bisa sedikit, maka iman itu dapat bertambah dan berkurang. Berdasarkan ayat:
Artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, Maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, Maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (At Taubah: 124)
Sebagaimana Ahli Hadits mengatakan :
اَلإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَاِقْرَارُ بِالِلّسَانِ.وَعَمَلٌ بِالأَرْكَانِ.يَزِيْدُبِالطَاعَاتِ وَيَنْقُصُ بِالعِصْيَانِ.
Artinya: “Iman ialah mengetahui dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan, bertambah sebab taat dan berkurang sebab bermaksiat.”
Tentang orang yang berdosa besar, ada beberapa pendapat:
1.      Golongan Mu’tazilah dan Khawariz berpendapat bahwa orang yang berdosa itu kekel dalam neraka, tidak akan di keluarkan selama-lamanya, berdasarkan ayat:
Artinya: “Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”(An-Nisa-14)
Artinya: “Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”(An-Nisa: 93)
Golongan Murji’ah mentakwilkan ke dua ayat tersebut :
a.       Ayat pertama: orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya itu tetap mukmin, tidak melampaui had-had-Nya, tetapi hanya sebahagianya saja. Orang yang melampaui atau melanggar semua had-had-Nya, itu dinamakan orang kafir.
b.      Ayat kedua: bahwasanya yang di maksud membunuh (manusia) dalam ayat tersebut ialah orang kafir.
2.      Golongan Murji’ah berpendirian bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kekal dalam neraka selamanya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengingkari janji pahala, sedangkan janji ancamanya boleh jadi di penuhi. Sebab pahala adalah anugrah-Nya, bukanlah suatu kekurangan. Dalam hal ini golongan Mu’tazillah berpendirian sebaiknya yaitu Allah wajib melaksanakan balasan pahala dan siksaan.
Beberapa paham Murji’ah mempengaruhi Ahli Sunnah seperti diterangkan: “Dan kepercayaan-kepercayaan Murji’ah telah banyak masuk ke dalam Ahli Sunnah. Seperti pendapat tentang tidak kekalnya orang mukmin yang maksiat di dalam neraka, dan pendapat tentang wewenang mengingkari ancaman siksa bukan janji pahala dan sebagainya.”
Sebenarnya pendirian-pendirian golongan Murji’ah yang lunak tentang iman, sangat membahayakan. karena tidak ekstrim seperti golongan-golongan Mu’tazilah dan Khawariz. bersifat irja’ menagguhkan ketentuan hukum orang yang berdosa besar, maka diketahui bahwa pada waktu itu banyak penguasa yang berbuat maksiat dan dosa, karenanya pendapat-pendapat golongan Murji’ah tersebut bertendensi politis. [10]







            Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa golongan Murji’ah moderat, sebagai golongan yang berdiri sendiri telah hilang dalam sejarah dan ajaran-ajaran mereka mengenai iman, kufur dan dosa besar masuk kedalam aliran Ahli Sunnah dan Jama’ah. Adapun golongn Murji’ah Ekstrim juga telah hilang sebagai aliran yang berdiri sendiri, tetapi dalam praktek masih terdapat pada sebagian umat Islam yang menjalankan ajaran-ajaran ekstrim itu, mungkin dengan tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dalm hal ini mengikuti ajaran-ajaran golongn Murji’ah ekstrim.
Kemudian Berdasarkan atas pemaham tentang firqoh Murjiah dapat kita analisis bahwa yang namanya golongan Murji’ah ini:
a.                  I’tiqad kaum Murjiah bertentangan dengan faham kaum golongan lain hal ini dikarenakan faham yang dikemukakan oleh kaum Murji’ah terlalu longgar dalam artian hal ini disebabkan karena yang namanya iman itu hanya berkisar dalam seputar hati yang membuat kita menyulitkan membedakan antara orang yang mukmin dan yang kafir. Adapun golongan yang berberda diantaranya:
Ø  Faham Ahlusunah wal Jama’ah yang mengatakan bahwa iman itu terdiri dari enam unsur maka kalu hanya percaya kepada Allah dan rasul-rasul-Nya saja tidak cukup karena belum memenuhi enam unsur atau rukun iman.
Ø  Faham Khawarij yang mengatakan bahwa iman adalah mengenal Allah dan Rasul beserta mengerjakan segenap perintah Tuhan dan mejahui segala larangan-Nya. Bagi kaum Khawarij orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tetapi tidak mau sholat, berpuasa, dan tidak mau mengerjakan amal-amal ibadah lainya orang itu hukumnya kafir dan halal darahnya.
Ø  Faham Syiah yang mengatakan bahwa percaya: iman adalah sebagian dari iman tidak cukup hany iman kepada Allah dan Rasul-Nya Saja.
b.                  Jika mengikuti faham Murji’ah ini maka ayat-ayat hukum dalam Al Quran seperti hukum pencuri dengan potong tangan, tidak ada gunanya lagi. Sebab kesalahan hanya di tangguhkan kepada Tuhan saja.
c.                  Pengaruh ajaran Murji’ah dalam kehidupan Masyarakat sangat negatif dan membahanyakan masyarakal berupa moral latitude, yakni sikap memperlemah ikatan-ikatan moral. Dengan kata lain masyarakat yang bersikaf menyimpang dari kaidah Akhlak yang di ajarkan oleh rasul. Hal ini disebabkan karena mereka hanya mementingkan iman berada di dalam hati, sedangkan amal perbuatan baik dianggap kurang penting sehingga di abaikan oleh pengaruh paham ini.














DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,  Muhammad.Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 1998. 
Hadariansyah Ab.Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam. Banjarmasin: Antasari Press, 2008.
Hanafi,Ahmad. Teologi Islam/Ilmu Kalam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974. 
Mansur,Muhammad Laily. Pemikiran Kalam dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam.Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Nasution,  Harun.Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986.


[1]Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam(Malang: UIN Maliki Press, 2010), h.117.
[2]Hadariansyah Ab, Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), 58.
[3]Ahmad Hanafi, Teologi Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h. 10-11.
[4]Mulyono dan Bashori,Studi Ilmu Tauhid atau Kalam, h.122.
[5]Muhammad Laily Mansur, Pemikiran Kalam dalam Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) , 32-33.
[6]Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), 160-161.
[7]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI-Press, 1986), h. 26.
[8]Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.
[9]Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.
[10]Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 28.

6 komentar: